[PEDIH] Arti Kepedihan
Mengapa aku harus merasakan ini?
Kepedihan yang kurasakan saat aku melihat dia dan dirinya kehilangan sosok tercinta?
Di saat aku hendak melupakan sosoknya sesuatu membuatku harus menjaganya seperti janjiku pada diriku dan Tuhan...
Walau sukar rasanya menunjukan janjiku itu pada dia dan dirinya namun itulah janjiku...
Janji yang terucap saat air mata berlinang untuknya dan dirinya...
Wajarkah kepedihan ini ku rasakan saat ku tahu dia tak menyadari sedikitpun sosok ku di sampingnya...
Aku tak meminta lebih darinya hanya kesempatan untuk menjadi kekuatan dalam kepedihannya itu cukup...
Perkenalkan namaku Raissa Safanah... cukup panggil aku Acha tapi jangan Safa. Semua rasa yang tertuang itu adalah semua rasa yang kurasakan saat ini... aku mengenal sosok lelaki yang sangat istimewa. Dulu aku sempat menginginkannya walaupun aku tahu tak mungkin untukku mendapatkannya. Aku sempat bisa melupakan sosoknya dan berpaling pada sosok lainnya tetapi semuanya berubah karena suatu kejadian yang membuatku tak bisa melupakannya dan membuatku ingin menjadi kekuatan baginya, tak hanya baginya tapi bagi adiknya juga. Dan inilah kisahku dengan nya dan kepedihannya...
***
17 Desember 2011
Siang itu sekitar pukul 10.00 aku berada di sekolah. Bukan untuk belajar ataupun mengikuti ujian tetapi aku akan menerima nilai hasil belajarku selama 1 semester di kelas XI IPA 2. Aku duduk di depan bangku kelas XI IPA 1, tempat di mana teman-teman sekelasku sama-sama menunggu orang tua mereka untuk mengambil rapor mereka. Suasana sekitarku nampak riuh, wajar saja saat itu sedang di bagikan kado kepada teman-teman sekelasku yang pada bulann itu berulang tahun –kebiasaan di kelasku- aku sempat heboh sendiri saat memberikan kado, tetapi karena merasa lelah dan kepanasan aku memilih duduk di samping Keke yang masih bercanda-canda dengan teman-teman.
“Huftt...” Aku menghela nafas sambil terduduk di kursi. Aku sempat mengedarkan pandanganku pada sekitar tetapi tiba-tiba pandanganku terhenti ketika melihat sosok cowok yang aku kenal sedang berjalan dengan kedua orang tuanya dan adiknya yang juga adik kelasku.
Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Dia bernama Raynald Ekada Prasetya dan adiknya bernama Deva Ekada Prasetya. Mereka berjalan melewati ruang kelasku bersama kedua orang tuanya. Ray, sebutan akrab untuk Raynald nampak menuntun mamanya yang nampak rapuh namun terlihat bahagia dan Deva, sebutan akrab untuk adik Ray nampak menuntun papanya yang sudah lanjut usia. Mereka berempat menampakan sebuah pemandangan yang indah. Aku sempat iri melihat pemandangan itu. Jarang aku lihat sebuah keluarga yang seakrab itu.
Aku tersenyum bahagia melihat pemandangan itu dan mencoba memberitahukan apa yang aku lihat pada Keke.
“Ke... lihat deh.. Ray sama Deva deket banget sama mama papanya...” kataku sambil menunjuk Ray dan Deva dengan daguku. Keke mencoba melihat apa yang aku tunjukan.
“Ihh iya loh... deket banget...” Keke juga nampak senang.
“Tapi kok orang tuanya kelihatan udah tua ya..” kata Keke polos.
“Wajar lah kan Ray sama Deva juga anak ke 5 sama 6...” kataku.
“Oiya ya.. lupa aku hahahaha...” Keke meringis. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan kembali melihat pemadangan indah itu.
“Ya Tuhan... indah banget keluarga itu... coba aku masih bisa deket sama Ray pasti aku bisa ikut ngerasain betapa senangnya Ray dan Deva saat itu.” Aku tersenyum bahagia melihat hal itu. Sayang rasa yang dulu sempat aku rasakan pada Ray sudah mulai pudar. Tapi sudahlah ini memang yang terbaik. Aku lebih baik melupakan sosok Ray dan tak berharap banyak sosok Ray. Lebih baik aku menanggapnya sebagai seorang teman.
Sedikit kisah tentang rasa cintaku pada sosok Ray. Dulu aku sempat menyimpan rasa suka pada sosok Ray bahkan aku dulu sempat dekat dengannya tetapi karena suatu hal yang dilakukan oleh salah satu temanku aku harus rela menjauh dari Ray dan bersikap cuek pada Ray padahal jujur sesungguhnya aku tak ingin seperti itu tapi apalah di kata ini semua karena keadaan. Dan karena keadaan itu pun aku berusaha melupakan ray.
***
Hari-hari setelah itu aku menjalaninya dengan biasa saja. Tak ada yang istimewa. Namun entah mengapa liburan akhir tahun yang aku lalui pikiranku tertuju pada sosok Ray. Aku selalu teringat oleh Ray. Aneh sekali... tetapi aku masih menganggapnya wajar saja. Maklum lah aku semppat menyukainya dan rasa yang saat ini aku rasakan sangat wajar untuk diriku. Akupun memasrahkan perasaan yang kurasakan.
Hari-hari liburku pun kulalui dengan penuh rasa rindu.
Setelah 3 minggu aku melalui hari libur, akhirnya aku dapat bertemu dengan sosok Ray, tetapi seperti biasa aku tak berani menyapanya bahkan menatapnya sama tak berani aku selalu menanggapnya tak ada. Bodoh sekali aku ini. Katanya rindu tetapi kenapa aku lemah saat berada di dekatnya. Bodoh kamu Acha!
Aku hanya bisa diam saat berada di dekatnya tetapi jujur hatiku bergejolak saat dekat dengannya. Berulang kali sahabat-sahabatku yang mengetahui rasa sayangku pada Ray menyarankanku untuk bersikap biasa saja padanya tapi entah mengapa sulit bagiku melakukannya.
“Sulit Via... sulit...” adu ku pada Via sahabatku yang juga teman sekelas Ray.
“Ya apa sulitnya sih? Kan kamu Cuma tinggal sapa dia kek.. ajak omong dia kek... jangan cuek gitu...” kata Via.
“Tapi Vi.. keadaannnya udah lain.. dia dulu yang mulai cuek...” kataku.
“Ya kalau kamu juga ikut cuek gak ada ujungnya Cha...” kata Via lagi. Aku menghela nafas panjang.
“Ahhh udah ahh.. lagian aku kan juga mau lupain dia...” kataku.
“Yaelah... yaudah lah.. tapi jangan nyesel loh...” kata Via. Aku hanya tersenyum kecut.
Ahh! Bodoh! Sebenarnya aku mau melupakan Ray atau tidak sih?! Bodoh!
***
Hari-hari terus berlalu aku berusaha melupakan rasa sukaku pada Ray. Perlahan tapi pasti aku sudah mulai bisa sedikit melupakan rasa sukaku walaupun tak seutuhnya. Sekarang tanggal 21 Januari 2012. Awalnya aku sama sekali tak merasakan hal yang istimewa pada hari itu. Hanya ada satu hal yang istimewa aku sempat kontak mata pada Ray walaupun tak secara langsung dan pada tanggal itu aku bisa lebih dekat walaupun tetap dengan sikap dingin diantara aku dan dia.
Siang itu ada dan Ify sedang menunggu Rio pacar Ify yang sedang rapat OSIS dan di tempat aku menunggu juga ada Ray yang sedang menunggu Deva adiknya bersama Alvin dan Gabriel teman-temannya. Aku dan Ray saling cuek dan aku hanya mengajak berbicara temannya. Aku ingat sekali saat itu aku membicarakan masalah aku yang mengundang Gabriel,Alvin,dan Ray dalam acara yang akan aku adakan sebulan lagi.
Saat itu sempat ada canda diantara aku dan Gabriel tetapi tidak dengan Ray. Tetapi sudahlah toh aku sudah terbiasa.
Aku dan Ify masih menunggu Rio. Aku sempat mencuri pandang pada Ray dan aku merasakan suatu hal yang aneh pada diri Ray. Ada hal yang aneh pada Ray, tetapi apa ya? Aku seakan merasakan senyum yang tersungging saat bercanda dengan teman-temannya itu adalah senyum terakhir yang bisa aku lihat dari sosok Ray.
Ada yang aneh dari Ray. Tetapi apa ya?
Ahh sudah lah pasti hanya perasaanku saja. Tetapi jujur saat itu aku ingin menghabiskan waktu yang lebih lama dengan Ray. Sayangnya kesempatan itu tak ada aku harus pulang karena Rio sudah selesai rapat dan aku sudah tak ada alasan lagi untuk berada di sekolah. Yasudahlah lagipula semakin lama bersama ray semakin sukar aku melupakannya. Akupun pulang walaupun perasaan aneh tentang Ray masih menyelimuti pikiranku.
***
23 Januari 2012
Dua hari berselang setelah kejadian itu adalah hari Imlek dan hari libur nasional. Satu hari tidak bertemu Ray. Sedikit kangen tetapi aku tak mau itu membuatku galau. Akupun menjalani hari itu dengan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi hanya ada satu yang mengganjal. Aku sempat berfikir buruk ‘Bagaimana jadinya aku kalau ibuku meninggal’ Tuhan sungguh jahat pikiranku. Tetapi entah mengapa pikiran itu selalu muncul akhir-akhir ini. Ahh sudahlah mungkin hanya pikiranku saja. Akupun membiarkan hal itu. Tetapi tak kusanggka semuanya terjadi, tetapi bukan padaku. Pada orang lain.
***
24 Januari 2012
Pagi itu tak kurasakan suatu yang aneh, aku nampak biasa saja, cerewet, bawel dan ceria bahkan kurasakan lebih ceria. Hanya satu yang aneh, sudah jam 06.30 tetapi aku belum juga melihat motor Ray terparkir di parkiran yang sama denganku. Tapi mingkin saja Ray terlambat.
Aku menjalani hari ini dengan biasa saja. Setidaknya sampai pada pukul tujuh lewat. Sekitar pukul 7 lewat tiba-tiba terdengar pengumuman yang mengejutkan dari pusat. 2 buah berita duka.
“Telah meninggal dunia orang tua dari Deva Ekada...” aku belum menyadari nama itu aku masih sibuk dengan soal matematika pagi itu.
“Dan Raynald Prasetya...”
...
Aku terdiam. Apa? Siapa? Raynald Prasetya?
“Dan orang tua dari Gita...” pengumuman setelah itu hanya sayup-sayup kudengar.
Bulu kudukku berdiri seketika tangan yang tadinya aku gunakan menulis rumus matematika terhenti. Tanganku membeku.
Jantungku berdebar lebih kencang. Apa ini? Kenapa semuanya terjadi? Gak mungkin Ray.
Seketika mataku mulah perih.
Teman-teman yang mengetahui perasaanku pada Ray langsung menatapku, aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan kosong seakan tak percaya.
“Keke... itu....” aku seakan tak percaya.
“Iya... Ray cha... orang tuanya Ray...” kata Acha juga tak percaya.
Aku tak masih shock. Aku tak percaya dengan ini. Kenapa harus Ray... Deva juga? Kakak beradik itu... Oh Tuhan...
Tanpa kusadari air mata mulai jatuh dari pelupuk mataku. Aku buru-buru menyeka air mata itu karena aku tak ingin banyak orang tahu tangisanku, wajar saja ttak banyak orang tahu perkara rasa suka ku pada ray.
Aku... aku... aku... aku tak percaya dengan apa yang ku dengar. Seketika itu juga konsentrasiku pada pelajaran hari itu buyar. Yang ada dalam pikiranku hanya Ray dan Deva. Kenapa ini harus terjadi pada mereka.
“Cha aku ke ruang TU dulu ya... ngurusin kolekte buat Ray sama Gita...” pamit Keke selaku anak OSIS, aku tak menggubris, aku hanya mengangguk pelan.
Kini aku sendiri. Di selimuti kepedihan atas kabar duka yang di rasakan Ray dan Deva. Aku berusaha menutupi kesedihanku itu.
Aku berjalan perlahan duduk menyebelahi Angel.
Aku menatap mata Angel seakan mengadu kesedihanku.
“Udah jangan sedih... aku juga kaget banget tadi...” kata Angel seakan mengetahui perasaanku.
“Aku gak percaya Ngel... keapa harus Ray dan Deva sih? Aku gak percaya sama ini semua... kenapa? Aku baru aja desember kemarin ngelihat kebersamaan mereka. Betapa indahnya kebersamaan mereka. Ray tuh kelihatan sayang banget sama orang tuanya. Deva juga. Aku seneng waktu itu. Tapi kenapa harus salah satu pergi.. aku gak bisa ngebayangin betapa sedihnya Ray saat itu. Aku gak percaya...” adu ku pada Angel dan air mata mulai berlinang lagi, kali ini aku tak berusaha menyekanya, aku tak perduli dengan tatapan aneh teman-temanku saat melihatku menangis.
“Iya Cha... aku tahu.. aku juga sedih.. waktu itu aku juga sempet kok ngelihat Ray,Deva sama kedua orang tuanya ke gereja bareng waktu natal dan itu indah banget.. aku juga gak percaya... tapi mau gimana lagi? Ini udah takdir kan...” kata Angel mencoba menenangkan.
“Tapi Ngel.. ini gak adil... gak adil...” adu ku lagi.
“Ya aku tahu Cha.. ini memang kelihatan gak adil tapi mau gimana lagi ini udah takdir kan.. dan pasti ini udah hal yang paling adil untuk dia dan adiknya...” kata Angel. Saat itu aku tak bisa menanggapi lebih, aku tak tahu harus berkata apa saat itu. Aku hanya bisa memendam pedihku dan saat itu juga kuputuskan untuk berpuasa untuk mama Ray dan Deva.
Setelah mendengar kabar itu aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaranku. Aku hanya melamun dan seakan merasakan kesedihan Ray. Aku tak rela mendengar kenyataan pahit untuk Ray dan Deva. Aku kuatir dengan keadaan Ray.
Aku terus saja melamun saat pelajaran bahkan sampai Keke datang seusai menyebarkan kolekte.
“Aku udah nelpon Ray tadi...” kata Keke sambil duduk di sampingku. Aku kaget dan langsung menatapnya.
“Terus gimana?” tanyaku kuatir.
“Yang meninggal mamanya... kanker...” sontak aku kaget. Mamanya? OH Tuhan... Ray dan Deva kehilangan seorang ibu? Ya Tuhan, semakin perih rasanya hatiku ini. Kehilangan sosok yang telah mengorbankan nyawa kita untuk menghadirkan kita di dunia ini. Seorang ibu.
“Apa? Jadi? Ibunya...?” aku nampak tak percaya.
“Iya.. tapi katanya Ray baik-baik aja kok, jadi kamu tenang aja...” kata Acha. Tenang? Bagaimana aku bisa tenang. Saat ini orang yang aku sayangi sedang merasakan kepedihan karena kehilangan sosok ibu dari hidupnya.
“Aku ke kemar mandi dulu ya...” kataku pada Acha. Akupun langsung bergegegas ke kamar mandi.
Sata di kamar mandi air mata langsung mengucur dari pelupuk mataku.
“Hiks hiks hiks.. kenapa harus Ray sama Deva sih? Ini gak adil.. kenapa mereka harus kehilangan sosok ibu? Sosok yang paling berharga bagi hidup mereka.. aku gak bisa ngebayangin betapa sedihnya Ray sama Deva.. kenapa Tuhan.. hiks.. kenapa harus mereka..” aku tumpahkan semua kepedihanku saat membayangkan kepedihan yang dirasakan oleh Ray dan Deva.
Adilkah ini? Adilkah ini? 23 Januari orang yang aku sayangi harus kehilangan sosok ibu. Jadi firasatku selama ini? Rasa aneh saat melihat Ray terakhir kali dan perasaan sedih saat kehilangan sosok ibu adalah pertanda untuk hal ini? Tapi... kenapa harus mereka? Kenapa?
***
Kekuatiranku membuatku ingin menghubunginya. Setidaknya mengucapkan turut berduka cita. Aku pun teringat bahwa aku tidak mengumpulkan semua hapeku, hanya satu hape yang aku kumpulkan.
“Oiya ! aku harus sms Ray...” aku lantas membuka tasku hendak membuka hape aku tak perduli masih ada guru di dalam kelas dan apa yang ku lakukan sangat beresika karena jika ketahuan aku tak mengumpulkan semua hape maka hapeku akan tersita.
“Astaga bego!!! Aku kan gak nyimpen nomor Ray di hape ini...” umpatku dalam hati. Penyesalan! Kenapa aku tak menyimpan nomor Ray?!
“Oiya... mungkin si Ify punya... dia kan satu kelas waktu kelas X...” aku pun segera memanggil Ify yang duduk di bangku sebrangku.
“Fy... kamu punya nomornya Ray?” tanyaku.
“Walah.. enggak ew... aku udah gak punya, soalnya waktu kelas X semester 2 aku udah gak deket sama Ray...” jawab Ify. Ya Tuhan...
“Emang kenapa ew?” tanya Rio yang mendengar pembicaraanku dengan Ify.
“Aku mau sms dia...” jawabku.
“Walah jangan kalau menurutku...” kata Rio.
“Loh kenapa?” tanyaku.
“Yaa.. gak enak lah... dia kan lagi berduka... mendingan dateng langsung aja dari pada sms...” kata Rio.
“Haa? Tapi...” pikirku. Benar juga sih kata Rio. Lebih baik aku datang langsung saja.
“Bener juga sih... yaudah kalau gitu. Tapi nanti temenin yaa.. sekalian sama di Dea sama Ify...” ajakku.
“Walah jauh banget.. lagian aku gak tahu rumahnya...” kata Rio.
“Halah.. gampang masalah itu... kita bisa tanya sama temennya kan.. lagian rumah Dea kan deket-deket situ...” bujukku.
“Hmmm.. yaudah deh... sekalian ngucapin duka cita...” kata Rio. Akupun tersenyum. Mereka memang sahabat-sahabatku.
***
Siang ini, sepulang sekolah seperti rencanaku dengan Rio,Dea dan Ify. Aku akan mengunjungi rumah Ray dan Deva.
“Gimana jadi gak?” tanyaku lemas. Maklum saja sepanjang hari aku melamun saja dan hari ini aku juga berpuasa untuk ikut mendoakan arwah mama Ray.
“Ya ayo.. tapi aku gak tahu tempatnya...” kata Rio.
“Gimana kalau kita bareng sama teman-temannya dia waktu kelas X... kayaknya mereka juga mau jenguk....” usul Ify.
Apa teman Ray sewaktu kelas X? Mustahil. Mereka nampak tak menerima kedekatanku dengan Ray. Mana mungkin. Aku pasti akan menjadi bahan pembicaraa bagi mereka.
“Haa? Sama mereka? Serius? Tapi kan...” kataku ragu.
“Ya mau gimana lagi Cha? Kita gak tahu rumahnya...” kata Rio.
“Bener kata Rio.. aku memag tahu daerahnya tapi kalau rumahnya aku gak tahu pasti.. daripada nyasar...” kata Dea.
Aku mencoba berfikir. Aku tidak boleh egois. Bagaimanapun tujuanku baik untuk mengetahui keadaan Ray dan Deva. Tidak perduli apa kata teman-temannya nanti yang penting aku tahu keadaan Ray.
“Yaudahlah.. toh tujuanku baik... demi Ray dan Deva...” kata ku. Akhirnya aku,Rio,Dea dan Ify ikut rombongan teman-teman Ray sewaktu kelas X. Aku memendam rasa malu, takut dan egoisku waktu itu. Yang penting sekarang aku tahu secara langsung keadaan Ray dan Deva.
***
Aku dan rombongan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Saat itu cukup panas dan aku harus mengendarai motor bersama Dea. Aku tak perduli rasa panas dan perjalanan yang jauh. Aku lakukan ini demi Ray dan Deva. Setelah perjalanan yang cukup jauh dan sempat tersasar. Akhirnya kita tiba juga. Di sana suasana duka sangat menyelimuti sebuah rumah sederhana yang di kelilingi pepohonan cukup lebat.
Mengerikan. Itulah kesan pertama yang ku rasakan. Tapi aku tak perduli. Tujuanku hanya satu. Mengunjungi Ray dan Deva.
Aku turun dari motor. Dari jauh ku lihat sosok Ray menyambut datangnya rombongan kami. Ku pikir dia tak menyangka kedatanganku.
Ku lihat dari kejauhan pancaran wajahnya penuh duka. Mungkin dia mencoba tegar, tapi kita tidak bisa memungkiri kesedihan yang terlihat di wajah Ray. Tak hanya ray yang ku lihat ada sosok Deva yang juga nampak sedih saat itu. Ya Tuhan, aku seakan ingin menangis melihat mereka. Ya Tuhan...
Aku berusaha mengendalikan perasaanku saat itu. Aku berjalan dan mendekati Ray. Aku menyalaminya dan lagi-lagi aku memasang wajah dingin. BODOH! Kenapa di saat seperti ini aku masih saja bersikap seperti ini?! ARGH!!! Kenapa?! Bahkan aku tak sempat menyalami Deva, aku hanya melihat sosoknya yang nampak kehilangan. BODOH! Aku bodoh. Tapi sudahlah semuanya sudah terlanjur. Akupun memasuki ruangan dimana jenazah mama Ray di doakan. Dari luar aku mendoakan dengan sepenuh hati. Dan dalam doa ku aku sematkan janji untuk selalu menjaga Ray dan Deva. Aku berjanji pada waktu itu untuk selalu menjaga Ray dan Deva. Dan ku pinta izin darimu Tuhan. Ijinkanlah aku tuk jadi kekuatan bagi Ray dan Deva.
Dengan tanda salib aku akhiri doaku ini. Aku sempat berdiri terpaku disekeliling teman-teman yang juga mendoakan mama Ray dan Deva. Aku mengedarkan pandanganku di sekeliling rumah Ray dan Deva. Pandanganku terhenti saat melihat foto keluarga tergantung manis di dinding yang mengelilingi peti jenazah.
“Ya Tuhan... betapa bahagianya Ray dan Deva dalam foto itu.. lengkap dengan kakak-kakaknya dan kedua orang tuanya... tapi sekarang semuanya sudah berakhir... mereka kehilangan satu diantara mereka. Seorang Ibu telah pergi dari hidup mereka...” batinku pedih. Nyaris aku titihkan air mata tapi aku coba kendalikan itu karena aku tak ingin orang lain curiga dengan sikapku. Tak ingin berlama-lama dan semakin sedih, akupun melangkah menjauh dari tempat itu. Saat aku hendak menjauh aku dengar suatu kata yang tak kusangka muncul dari sosok Ray.
“Iya bu... ini udah yang terbaik buat mama. Ini lebih baik...” dengan tegar Ray mengucapkan itu pada salah satu guru yang ikut rombonganku. Aku terenyuh. Begitu tegarnya Ray saat itu.
Ray saja bisa tegar kenapa aku tak bisa? Tuhan kenapa aku harus merasakan kepedihan ini juga...
Aku dan rombonganku duduk-duduk sebentar di rumah Ray, sekedar menghibur sosok Ray. Aku memang melihat Ray tertawa tetapi tawanya tak seperti biasa. Itu wajar untukku. Ray dalam kepedihan.
Pada kesempatan saat itu juga aku tidak sanggup untuk berbicara pada Ray. Bodoh sekali aku ini?! Itu kesempatan yang indah seharusnya tetapi kenapa susah kugunakan?! Aku hanya bisa melihatnya dari mata hatiku.
Sempat kuketahui kalau jenazah mamaya akan di makamkan pada hari kamis. Hanya itu yang aku tahu. Aku memang bodoh! Bodoh!
***
Keesokan harinya Ray dan Deva belum masuk juga, aku masih mewajarinya, mungkin Ray dan Deva ingin menghabiskan hari-hari terakhir dengan mamanya. Sepajang hari aku masih saja merasakan kepedihan di hatiku, bahkan tadi malam aku kembali menangis merasakan kepedihan Ray dan Deva.
Hari itu juga aku tahu bahwa mama Ray dan Deva akan di semayamkan di kampung halaman mereka. Mengetahui hal itu, entah mengapa perasaanku menjadi tak enak. Aku takut Ray tak akan kembali dan aku akan kehilangan Ray. Tuhan... jangan Tuhan... aku tak ingin kehilangan sosok Ray. Masih ada satu janjiku pada diriku dan padaMu Tuhan. Janji tuk menjadi kekuatan bagi Ray dan Deva. Ijinkan aku menjadi kekuatan bagi mereka.
Hari-hari kulalui dengan perasaan takut. Besoknya hari Kamis, hari terkahir Ray dan Deva bersama mamanya. Aku semakin sedih. Dan pada hari itu juga aku mendatkan sebuah kenyataan bahwa Ray tak ada di samping Mamanya saat-saat terakhir mamanya. Aku semakin merasakan kepedihan dan penyesalan dalam diri Ray.
Sejak saat itu aku menjadi sering melamun dan sering menangis. Di tambah lagi Ray belum masuk-masuk juga. Aku rindu pada sosoknya. Aku takut tak bisa bertemu dengannya lagi.
***
28 Januari 2012
Tanpa kusangka, saat aku hendak memarkirkan motorku, aku sudah melihat motor Ray terparkir di sana. Hatiku terlonjak bahagia.
Puji Tuhan dia sudah masuk... Terima Kasih Tuhan...
Dengan bergegas aku menuju kelasku dengan bahagia. Aku meletakan tasku dan bergegas menuju kelas Ray dengan alibi menemui Via yang kebetulan sekelas dengan Ray.
Aku memasuki kelas Via dan kulihat sudah ada Ray. Bahagia rasanya melihat Ray. Walaupun pancaran wajahnya masih menunjukan kesedihan tetapi sudahlah mungkin semuanya butuh waktu... yang penting aku sudah melihat sosok Ray. Yang jelas aku akan terus menepati janjiku aku akan menjaga Ray dan Deva. Aku tak akan meminta lebih dari Ray, hanya sebuah kesempatan untuk bisa selalu ada saat dia pedih saja sudah cukup. Dan Tuhan.. Ijinkan aku tuk jadi kekuatan bagi Ray dan Deva.
Satu hal lagi... ada satu pelajaran penting dari kisah ini... jangan pernah menyia-nyiakan kasih sayang seorang ibu karena kita tak akan tahu apa yang akan terjadi padanya suatu saat nanti... sejak saat itulah aku semakin menjaga ibuku demi Ray dan Deva, demi membalas penyesalan Ray dan Deva.
_END_
special for @anasthasia cindya @faustina monika @yohanes hendry @clara kristina @veronica ratih @elyza krisnasari @albertus hestu :D
Mengapa aku harus merasakan ini?
Kepedihan yang kurasakan saat aku melihat dia dan dirinya kehilangan sosok tercinta?
Di saat aku hendak melupakan sosoknya sesuatu membuatku harus menjaganya seperti janjiku pada diriku dan Tuhan...
Walau sukar rasanya menunjukan janjiku itu pada dia dan dirinya namun itulah janjiku...
Janji yang terucap saat air mata berlinang untuknya dan dirinya...
Wajarkah kepedihan ini ku rasakan saat ku tahu dia tak menyadari sedikitpun sosok ku di sampingnya...
Aku tak meminta lebih darinya hanya kesempatan untuk menjadi kekuatan dalam kepedihannya itu cukup...
Perkenalkan namaku Raissa Safanah... cukup panggil aku Acha tapi jangan Safa. Semua rasa yang tertuang itu adalah semua rasa yang kurasakan saat ini... aku mengenal sosok lelaki yang sangat istimewa. Dulu aku sempat menginginkannya walaupun aku tahu tak mungkin untukku mendapatkannya. Aku sempat bisa melupakan sosoknya dan berpaling pada sosok lainnya tetapi semuanya berubah karena suatu kejadian yang membuatku tak bisa melupakannya dan membuatku ingin menjadi kekuatan baginya, tak hanya baginya tapi bagi adiknya juga. Dan inilah kisahku dengan nya dan kepedihannya...
***
17 Desember 2011
Siang itu sekitar pukul 10.00 aku berada di sekolah. Bukan untuk belajar ataupun mengikuti ujian tetapi aku akan menerima nilai hasil belajarku selama 1 semester di kelas XI IPA 2. Aku duduk di depan bangku kelas XI IPA 1, tempat di mana teman-teman sekelasku sama-sama menunggu orang tua mereka untuk mengambil rapor mereka. Suasana sekitarku nampak riuh, wajar saja saat itu sedang di bagikan kado kepada teman-teman sekelasku yang pada bulann itu berulang tahun –kebiasaan di kelasku- aku sempat heboh sendiri saat memberikan kado, tetapi karena merasa lelah dan kepanasan aku memilih duduk di samping Keke yang masih bercanda-canda dengan teman-teman.
“Huftt...” Aku menghela nafas sambil terduduk di kursi. Aku sempat mengedarkan pandanganku pada sekitar tetapi tiba-tiba pandanganku terhenti ketika melihat sosok cowok yang aku kenal sedang berjalan dengan kedua orang tuanya dan adiknya yang juga adik kelasku.
Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Dia bernama Raynald Ekada Prasetya dan adiknya bernama Deva Ekada Prasetya. Mereka berjalan melewati ruang kelasku bersama kedua orang tuanya. Ray, sebutan akrab untuk Raynald nampak menuntun mamanya yang nampak rapuh namun terlihat bahagia dan Deva, sebutan akrab untuk adik Ray nampak menuntun papanya yang sudah lanjut usia. Mereka berempat menampakan sebuah pemandangan yang indah. Aku sempat iri melihat pemandangan itu. Jarang aku lihat sebuah keluarga yang seakrab itu.
Aku tersenyum bahagia melihat pemandangan itu dan mencoba memberitahukan apa yang aku lihat pada Keke.
“Ke... lihat deh.. Ray sama Deva deket banget sama mama papanya...” kataku sambil menunjuk Ray dan Deva dengan daguku. Keke mencoba melihat apa yang aku tunjukan.
“Ihh iya loh... deket banget...” Keke juga nampak senang.
“Tapi kok orang tuanya kelihatan udah tua ya..” kata Keke polos.
“Wajar lah kan Ray sama Deva juga anak ke 5 sama 6...” kataku.
“Oiya ya.. lupa aku hahahaha...” Keke meringis. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan kembali melihat pemadangan indah itu.
“Ya Tuhan... indah banget keluarga itu... coba aku masih bisa deket sama Ray pasti aku bisa ikut ngerasain betapa senangnya Ray dan Deva saat itu.” Aku tersenyum bahagia melihat hal itu. Sayang rasa yang dulu sempat aku rasakan pada Ray sudah mulai pudar. Tapi sudahlah ini memang yang terbaik. Aku lebih baik melupakan sosok Ray dan tak berharap banyak sosok Ray. Lebih baik aku menanggapnya sebagai seorang teman.
Sedikit kisah tentang rasa cintaku pada sosok Ray. Dulu aku sempat menyimpan rasa suka pada sosok Ray bahkan aku dulu sempat dekat dengannya tetapi karena suatu hal yang dilakukan oleh salah satu temanku aku harus rela menjauh dari Ray dan bersikap cuek pada Ray padahal jujur sesungguhnya aku tak ingin seperti itu tapi apalah di kata ini semua karena keadaan. Dan karena keadaan itu pun aku berusaha melupakan ray.
***
Hari-hari setelah itu aku menjalaninya dengan biasa saja. Tak ada yang istimewa. Namun entah mengapa liburan akhir tahun yang aku lalui pikiranku tertuju pada sosok Ray. Aku selalu teringat oleh Ray. Aneh sekali... tetapi aku masih menganggapnya wajar saja. Maklum lah aku semppat menyukainya dan rasa yang saat ini aku rasakan sangat wajar untuk diriku. Akupun memasrahkan perasaan yang kurasakan.
Hari-hari liburku pun kulalui dengan penuh rasa rindu.
Setelah 3 minggu aku melalui hari libur, akhirnya aku dapat bertemu dengan sosok Ray, tetapi seperti biasa aku tak berani menyapanya bahkan menatapnya sama tak berani aku selalu menanggapnya tak ada. Bodoh sekali aku ini. Katanya rindu tetapi kenapa aku lemah saat berada di dekatnya. Bodoh kamu Acha!
Aku hanya bisa diam saat berada di dekatnya tetapi jujur hatiku bergejolak saat dekat dengannya. Berulang kali sahabat-sahabatku yang mengetahui rasa sayangku pada Ray menyarankanku untuk bersikap biasa saja padanya tapi entah mengapa sulit bagiku melakukannya.
“Sulit Via... sulit...” adu ku pada Via sahabatku yang juga teman sekelas Ray.
“Ya apa sulitnya sih? Kan kamu Cuma tinggal sapa dia kek.. ajak omong dia kek... jangan cuek gitu...” kata Via.
“Tapi Vi.. keadaannnya udah lain.. dia dulu yang mulai cuek...” kataku.
“Ya kalau kamu juga ikut cuek gak ada ujungnya Cha...” kata Via lagi. Aku menghela nafas panjang.
“Ahhh udah ahh.. lagian aku kan juga mau lupain dia...” kataku.
“Yaelah... yaudah lah.. tapi jangan nyesel loh...” kata Via. Aku hanya tersenyum kecut.
Ahh! Bodoh! Sebenarnya aku mau melupakan Ray atau tidak sih?! Bodoh!
***
Hari-hari terus berlalu aku berusaha melupakan rasa sukaku pada Ray. Perlahan tapi pasti aku sudah mulai bisa sedikit melupakan rasa sukaku walaupun tak seutuhnya. Sekarang tanggal 21 Januari 2012. Awalnya aku sama sekali tak merasakan hal yang istimewa pada hari itu. Hanya ada satu hal yang istimewa aku sempat kontak mata pada Ray walaupun tak secara langsung dan pada tanggal itu aku bisa lebih dekat walaupun tetap dengan sikap dingin diantara aku dan dia.
Siang itu ada dan Ify sedang menunggu Rio pacar Ify yang sedang rapat OSIS dan di tempat aku menunggu juga ada Ray yang sedang menunggu Deva adiknya bersama Alvin dan Gabriel teman-temannya. Aku dan Ray saling cuek dan aku hanya mengajak berbicara temannya. Aku ingat sekali saat itu aku membicarakan masalah aku yang mengundang Gabriel,Alvin,dan Ray dalam acara yang akan aku adakan sebulan lagi.
Saat itu sempat ada canda diantara aku dan Gabriel tetapi tidak dengan Ray. Tetapi sudahlah toh aku sudah terbiasa.
Aku dan Ify masih menunggu Rio. Aku sempat mencuri pandang pada Ray dan aku merasakan suatu hal yang aneh pada diri Ray. Ada hal yang aneh pada Ray, tetapi apa ya? Aku seakan merasakan senyum yang tersungging saat bercanda dengan teman-temannya itu adalah senyum terakhir yang bisa aku lihat dari sosok Ray.
Ada yang aneh dari Ray. Tetapi apa ya?
Ahh sudah lah pasti hanya perasaanku saja. Tetapi jujur saat itu aku ingin menghabiskan waktu yang lebih lama dengan Ray. Sayangnya kesempatan itu tak ada aku harus pulang karena Rio sudah selesai rapat dan aku sudah tak ada alasan lagi untuk berada di sekolah. Yasudahlah lagipula semakin lama bersama ray semakin sukar aku melupakannya. Akupun pulang walaupun perasaan aneh tentang Ray masih menyelimuti pikiranku.
***
23 Januari 2012
Dua hari berselang setelah kejadian itu adalah hari Imlek dan hari libur nasional. Satu hari tidak bertemu Ray. Sedikit kangen tetapi aku tak mau itu membuatku galau. Akupun menjalani hari itu dengan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi hanya ada satu yang mengganjal. Aku sempat berfikir buruk ‘Bagaimana jadinya aku kalau ibuku meninggal’ Tuhan sungguh jahat pikiranku. Tetapi entah mengapa pikiran itu selalu muncul akhir-akhir ini. Ahh sudahlah mungkin hanya pikiranku saja. Akupun membiarkan hal itu. Tetapi tak kusanggka semuanya terjadi, tetapi bukan padaku. Pada orang lain.
***
24 Januari 2012
Pagi itu tak kurasakan suatu yang aneh, aku nampak biasa saja, cerewet, bawel dan ceria bahkan kurasakan lebih ceria. Hanya satu yang aneh, sudah jam 06.30 tetapi aku belum juga melihat motor Ray terparkir di parkiran yang sama denganku. Tapi mingkin saja Ray terlambat.
Aku menjalani hari ini dengan biasa saja. Setidaknya sampai pada pukul tujuh lewat. Sekitar pukul 7 lewat tiba-tiba terdengar pengumuman yang mengejutkan dari pusat. 2 buah berita duka.
“Telah meninggal dunia orang tua dari Deva Ekada...” aku belum menyadari nama itu aku masih sibuk dengan soal matematika pagi itu.
“Dan Raynald Prasetya...”
...
Aku terdiam. Apa? Siapa? Raynald Prasetya?
“Dan orang tua dari Gita...” pengumuman setelah itu hanya sayup-sayup kudengar.
Bulu kudukku berdiri seketika tangan yang tadinya aku gunakan menulis rumus matematika terhenti. Tanganku membeku.
Jantungku berdebar lebih kencang. Apa ini? Kenapa semuanya terjadi? Gak mungkin Ray.
Seketika mataku mulah perih.
Teman-teman yang mengetahui perasaanku pada Ray langsung menatapku, aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan kosong seakan tak percaya.
“Keke... itu....” aku seakan tak percaya.
“Iya... Ray cha... orang tuanya Ray...” kata Acha juga tak percaya.
Aku tak masih shock. Aku tak percaya dengan ini. Kenapa harus Ray... Deva juga? Kakak beradik itu... Oh Tuhan...
Tanpa kusadari air mata mulai jatuh dari pelupuk mataku. Aku buru-buru menyeka air mata itu karena aku tak ingin banyak orang tahu tangisanku, wajar saja ttak banyak orang tahu perkara rasa suka ku pada ray.
Aku... aku... aku... aku tak percaya dengan apa yang ku dengar. Seketika itu juga konsentrasiku pada pelajaran hari itu buyar. Yang ada dalam pikiranku hanya Ray dan Deva. Kenapa ini harus terjadi pada mereka.
“Cha aku ke ruang TU dulu ya... ngurusin kolekte buat Ray sama Gita...” pamit Keke selaku anak OSIS, aku tak menggubris, aku hanya mengangguk pelan.
Kini aku sendiri. Di selimuti kepedihan atas kabar duka yang di rasakan Ray dan Deva. Aku berusaha menutupi kesedihanku itu.
Aku berjalan perlahan duduk menyebelahi Angel.
Aku menatap mata Angel seakan mengadu kesedihanku.
“Udah jangan sedih... aku juga kaget banget tadi...” kata Angel seakan mengetahui perasaanku.
“Aku gak percaya Ngel... keapa harus Ray dan Deva sih? Aku gak percaya sama ini semua... kenapa? Aku baru aja desember kemarin ngelihat kebersamaan mereka. Betapa indahnya kebersamaan mereka. Ray tuh kelihatan sayang banget sama orang tuanya. Deva juga. Aku seneng waktu itu. Tapi kenapa harus salah satu pergi.. aku gak bisa ngebayangin betapa sedihnya Ray saat itu. Aku gak percaya...” adu ku pada Angel dan air mata mulai berlinang lagi, kali ini aku tak berusaha menyekanya, aku tak perduli dengan tatapan aneh teman-temanku saat melihatku menangis.
“Iya Cha... aku tahu.. aku juga sedih.. waktu itu aku juga sempet kok ngelihat Ray,Deva sama kedua orang tuanya ke gereja bareng waktu natal dan itu indah banget.. aku juga gak percaya... tapi mau gimana lagi? Ini udah takdir kan...” kata Angel mencoba menenangkan.
“Tapi Ngel.. ini gak adil... gak adil...” adu ku lagi.
“Ya aku tahu Cha.. ini memang kelihatan gak adil tapi mau gimana lagi ini udah takdir kan.. dan pasti ini udah hal yang paling adil untuk dia dan adiknya...” kata Angel. Saat itu aku tak bisa menanggapi lebih, aku tak tahu harus berkata apa saat itu. Aku hanya bisa memendam pedihku dan saat itu juga kuputuskan untuk berpuasa untuk mama Ray dan Deva.
Setelah mendengar kabar itu aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaranku. Aku hanya melamun dan seakan merasakan kesedihan Ray. Aku tak rela mendengar kenyataan pahit untuk Ray dan Deva. Aku kuatir dengan keadaan Ray.
Aku terus saja melamun saat pelajaran bahkan sampai Keke datang seusai menyebarkan kolekte.
“Aku udah nelpon Ray tadi...” kata Keke sambil duduk di sampingku. Aku kaget dan langsung menatapnya.
“Terus gimana?” tanyaku kuatir.
“Yang meninggal mamanya... kanker...” sontak aku kaget. Mamanya? OH Tuhan... Ray dan Deva kehilangan seorang ibu? Ya Tuhan, semakin perih rasanya hatiku ini. Kehilangan sosok yang telah mengorbankan nyawa kita untuk menghadirkan kita di dunia ini. Seorang ibu.
“Apa? Jadi? Ibunya...?” aku nampak tak percaya.
“Iya.. tapi katanya Ray baik-baik aja kok, jadi kamu tenang aja...” kata Acha. Tenang? Bagaimana aku bisa tenang. Saat ini orang yang aku sayangi sedang merasakan kepedihan karena kehilangan sosok ibu dari hidupnya.
“Aku ke kemar mandi dulu ya...” kataku pada Acha. Akupun langsung bergegegas ke kamar mandi.
Sata di kamar mandi air mata langsung mengucur dari pelupuk mataku.
“Hiks hiks hiks.. kenapa harus Ray sama Deva sih? Ini gak adil.. kenapa mereka harus kehilangan sosok ibu? Sosok yang paling berharga bagi hidup mereka.. aku gak bisa ngebayangin betapa sedihnya Ray sama Deva.. kenapa Tuhan.. hiks.. kenapa harus mereka..” aku tumpahkan semua kepedihanku saat membayangkan kepedihan yang dirasakan oleh Ray dan Deva.
Adilkah ini? Adilkah ini? 23 Januari orang yang aku sayangi harus kehilangan sosok ibu. Jadi firasatku selama ini? Rasa aneh saat melihat Ray terakhir kali dan perasaan sedih saat kehilangan sosok ibu adalah pertanda untuk hal ini? Tapi... kenapa harus mereka? Kenapa?
***
Kekuatiranku membuatku ingin menghubunginya. Setidaknya mengucapkan turut berduka cita. Aku pun teringat bahwa aku tidak mengumpulkan semua hapeku, hanya satu hape yang aku kumpulkan.
“Oiya ! aku harus sms Ray...” aku lantas membuka tasku hendak membuka hape aku tak perduli masih ada guru di dalam kelas dan apa yang ku lakukan sangat beresika karena jika ketahuan aku tak mengumpulkan semua hape maka hapeku akan tersita.
“Astaga bego!!! Aku kan gak nyimpen nomor Ray di hape ini...” umpatku dalam hati. Penyesalan! Kenapa aku tak menyimpan nomor Ray?!
“Oiya... mungkin si Ify punya... dia kan satu kelas waktu kelas X...” aku pun segera memanggil Ify yang duduk di bangku sebrangku.
“Fy... kamu punya nomornya Ray?” tanyaku.
“Walah.. enggak ew... aku udah gak punya, soalnya waktu kelas X semester 2 aku udah gak deket sama Ray...” jawab Ify. Ya Tuhan...
“Emang kenapa ew?” tanya Rio yang mendengar pembicaraanku dengan Ify.
“Aku mau sms dia...” jawabku.
“Walah jangan kalau menurutku...” kata Rio.
“Loh kenapa?” tanyaku.
“Yaa.. gak enak lah... dia kan lagi berduka... mendingan dateng langsung aja dari pada sms...” kata Rio.
“Haa? Tapi...” pikirku. Benar juga sih kata Rio. Lebih baik aku datang langsung saja.
“Bener juga sih... yaudah kalau gitu. Tapi nanti temenin yaa.. sekalian sama di Dea sama Ify...” ajakku.
“Walah jauh banget.. lagian aku gak tahu rumahnya...” kata Rio.
“Halah.. gampang masalah itu... kita bisa tanya sama temennya kan.. lagian rumah Dea kan deket-deket situ...” bujukku.
“Hmmm.. yaudah deh... sekalian ngucapin duka cita...” kata Rio. Akupun tersenyum. Mereka memang sahabat-sahabatku.
***
Siang ini, sepulang sekolah seperti rencanaku dengan Rio,Dea dan Ify. Aku akan mengunjungi rumah Ray dan Deva.
“Gimana jadi gak?” tanyaku lemas. Maklum saja sepanjang hari aku melamun saja dan hari ini aku juga berpuasa untuk ikut mendoakan arwah mama Ray.
“Ya ayo.. tapi aku gak tahu tempatnya...” kata Rio.
“Gimana kalau kita bareng sama teman-temannya dia waktu kelas X... kayaknya mereka juga mau jenguk....” usul Ify.
Apa teman Ray sewaktu kelas X? Mustahil. Mereka nampak tak menerima kedekatanku dengan Ray. Mana mungkin. Aku pasti akan menjadi bahan pembicaraa bagi mereka.
“Haa? Sama mereka? Serius? Tapi kan...” kataku ragu.
“Ya mau gimana lagi Cha? Kita gak tahu rumahnya...” kata Rio.
“Bener kata Rio.. aku memag tahu daerahnya tapi kalau rumahnya aku gak tahu pasti.. daripada nyasar...” kata Dea.
Aku mencoba berfikir. Aku tidak boleh egois. Bagaimanapun tujuanku baik untuk mengetahui keadaan Ray dan Deva. Tidak perduli apa kata teman-temannya nanti yang penting aku tahu keadaan Ray.
“Yaudahlah.. toh tujuanku baik... demi Ray dan Deva...” kata ku. Akhirnya aku,Rio,Dea dan Ify ikut rombongan teman-teman Ray sewaktu kelas X. Aku memendam rasa malu, takut dan egoisku waktu itu. Yang penting sekarang aku tahu secara langsung keadaan Ray dan Deva.
***
Aku dan rombongan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Saat itu cukup panas dan aku harus mengendarai motor bersama Dea. Aku tak perduli rasa panas dan perjalanan yang jauh. Aku lakukan ini demi Ray dan Deva. Setelah perjalanan yang cukup jauh dan sempat tersasar. Akhirnya kita tiba juga. Di sana suasana duka sangat menyelimuti sebuah rumah sederhana yang di kelilingi pepohonan cukup lebat.
Mengerikan. Itulah kesan pertama yang ku rasakan. Tapi aku tak perduli. Tujuanku hanya satu. Mengunjungi Ray dan Deva.
Aku turun dari motor. Dari jauh ku lihat sosok Ray menyambut datangnya rombongan kami. Ku pikir dia tak menyangka kedatanganku.
Ku lihat dari kejauhan pancaran wajahnya penuh duka. Mungkin dia mencoba tegar, tapi kita tidak bisa memungkiri kesedihan yang terlihat di wajah Ray. Tak hanya ray yang ku lihat ada sosok Deva yang juga nampak sedih saat itu. Ya Tuhan, aku seakan ingin menangis melihat mereka. Ya Tuhan...
Aku berusaha mengendalikan perasaanku saat itu. Aku berjalan dan mendekati Ray. Aku menyalaminya dan lagi-lagi aku memasang wajah dingin. BODOH! Kenapa di saat seperti ini aku masih saja bersikap seperti ini?! ARGH!!! Kenapa?! Bahkan aku tak sempat menyalami Deva, aku hanya melihat sosoknya yang nampak kehilangan. BODOH! Aku bodoh. Tapi sudahlah semuanya sudah terlanjur. Akupun memasuki ruangan dimana jenazah mama Ray di doakan. Dari luar aku mendoakan dengan sepenuh hati. Dan dalam doa ku aku sematkan janji untuk selalu menjaga Ray dan Deva. Aku berjanji pada waktu itu untuk selalu menjaga Ray dan Deva. Dan ku pinta izin darimu Tuhan. Ijinkanlah aku tuk jadi kekuatan bagi Ray dan Deva.
Dengan tanda salib aku akhiri doaku ini. Aku sempat berdiri terpaku disekeliling teman-teman yang juga mendoakan mama Ray dan Deva. Aku mengedarkan pandanganku di sekeliling rumah Ray dan Deva. Pandanganku terhenti saat melihat foto keluarga tergantung manis di dinding yang mengelilingi peti jenazah.
“Ya Tuhan... betapa bahagianya Ray dan Deva dalam foto itu.. lengkap dengan kakak-kakaknya dan kedua orang tuanya... tapi sekarang semuanya sudah berakhir... mereka kehilangan satu diantara mereka. Seorang Ibu telah pergi dari hidup mereka...” batinku pedih. Nyaris aku titihkan air mata tapi aku coba kendalikan itu karena aku tak ingin orang lain curiga dengan sikapku. Tak ingin berlama-lama dan semakin sedih, akupun melangkah menjauh dari tempat itu. Saat aku hendak menjauh aku dengar suatu kata yang tak kusangka muncul dari sosok Ray.
“Iya bu... ini udah yang terbaik buat mama. Ini lebih baik...” dengan tegar Ray mengucapkan itu pada salah satu guru yang ikut rombonganku. Aku terenyuh. Begitu tegarnya Ray saat itu.
Ray saja bisa tegar kenapa aku tak bisa? Tuhan kenapa aku harus merasakan kepedihan ini juga...
Aku dan rombonganku duduk-duduk sebentar di rumah Ray, sekedar menghibur sosok Ray. Aku memang melihat Ray tertawa tetapi tawanya tak seperti biasa. Itu wajar untukku. Ray dalam kepedihan.
Pada kesempatan saat itu juga aku tidak sanggup untuk berbicara pada Ray. Bodoh sekali aku ini?! Itu kesempatan yang indah seharusnya tetapi kenapa susah kugunakan?! Aku hanya bisa melihatnya dari mata hatiku.
Sempat kuketahui kalau jenazah mamaya akan di makamkan pada hari kamis. Hanya itu yang aku tahu. Aku memang bodoh! Bodoh!
***
Keesokan harinya Ray dan Deva belum masuk juga, aku masih mewajarinya, mungkin Ray dan Deva ingin menghabiskan hari-hari terakhir dengan mamanya. Sepajang hari aku masih saja merasakan kepedihan di hatiku, bahkan tadi malam aku kembali menangis merasakan kepedihan Ray dan Deva.
Hari itu juga aku tahu bahwa mama Ray dan Deva akan di semayamkan di kampung halaman mereka. Mengetahui hal itu, entah mengapa perasaanku menjadi tak enak. Aku takut Ray tak akan kembali dan aku akan kehilangan Ray. Tuhan... jangan Tuhan... aku tak ingin kehilangan sosok Ray. Masih ada satu janjiku pada diriku dan padaMu Tuhan. Janji tuk menjadi kekuatan bagi Ray dan Deva. Ijinkan aku menjadi kekuatan bagi mereka.
Hari-hari kulalui dengan perasaan takut. Besoknya hari Kamis, hari terkahir Ray dan Deva bersama mamanya. Aku semakin sedih. Dan pada hari itu juga aku mendatkan sebuah kenyataan bahwa Ray tak ada di samping Mamanya saat-saat terakhir mamanya. Aku semakin merasakan kepedihan dan penyesalan dalam diri Ray.
Sejak saat itu aku menjadi sering melamun dan sering menangis. Di tambah lagi Ray belum masuk-masuk juga. Aku rindu pada sosoknya. Aku takut tak bisa bertemu dengannya lagi.
***
28 Januari 2012
Tanpa kusangka, saat aku hendak memarkirkan motorku, aku sudah melihat motor Ray terparkir di sana. Hatiku terlonjak bahagia.
Puji Tuhan dia sudah masuk... Terima Kasih Tuhan...
Dengan bergegas aku menuju kelasku dengan bahagia. Aku meletakan tasku dan bergegas menuju kelas Ray dengan alibi menemui Via yang kebetulan sekelas dengan Ray.
Aku memasuki kelas Via dan kulihat sudah ada Ray. Bahagia rasanya melihat Ray. Walaupun pancaran wajahnya masih menunjukan kesedihan tetapi sudahlah mungkin semuanya butuh waktu... yang penting aku sudah melihat sosok Ray. Yang jelas aku akan terus menepati janjiku aku akan menjaga Ray dan Deva. Aku tak akan meminta lebih dari Ray, hanya sebuah kesempatan untuk bisa selalu ada saat dia pedih saja sudah cukup. Dan Tuhan.. Ijinkan aku tuk jadi kekuatan bagi Ray dan Deva.
Satu hal lagi... ada satu pelajaran penting dari kisah ini... jangan pernah menyia-nyiakan kasih sayang seorang ibu karena kita tak akan tahu apa yang akan terjadi padanya suatu saat nanti... sejak saat itulah aku semakin menjaga ibuku demi Ray dan Deva, demi membalas penyesalan Ray dan Deva.
_END_
special for @anasthasia cindya @faustina monika @yohanes hendry @clara kristina @veronica ratih @elyza krisnasari @albertus hestu :D